judul

www.kutukutubuku.com
SEARCH
Selamat Hari Ibu

Jumat, 24 Juli 2009

Jilbab, Adat Istiadat Arab?

Jilbab, Adat Istiadat Arab?

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab:59)

Berkaitan dengan ayat-ayat hijab, salah satunya ayat 59 surat Al-Ahzab, para ulama dan ahli tafsir mengemukakan wajibnya berjilbab dan menutup aurat bagi kaum wanita muslimah, di mana saja berada. Khithab ayat di atas ditujukan kepada para isteri dan anak-anak perempuan Nabi saw, serta para isteri orang beriman. Sehingga, hukum jilbab bersifat universal, berlaku atas seluruh muslimah di negeri mana pun ia tinggal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan di dalam Al-Fatawa (XV/297). “Syariat mewajibkan seorang wanita untuk dijaga dan dipelihara dengan sesuatu yang tidak diwajibkan bagi kaum, laki-laki. Oleh kerenanya, wanita dikhususkan dengan perintah untuk berhijab, tidak memperlihatkan perhiasannya, dan tidak tabarruj (bersolek yang berlebihan). Maka, seorang wanita wajib berhijab dengan pakaian atau dengan tinggal di rumah, yang mana itu tadak diwajibkan bagi kaum laki-laki. Sebab, keluarnya seorang wanita dari rumahnya merupakan sebab timbulnya fitnah, sedangkan laki-laki adalah pemimpin bagi mereka.”

Jilbab Digugat!

Walaupun begitu sharihnya perintah berjilbab bagi kaum muslimah, namun mungkin sudah menjadi sunnatullah, jika di bumi ini lahir manusia-manusia yang lancang memprotes syariat-Nya. Ya. Jilbab kini banyak digugat! Pakaian yang telah diwajibkan Allah Ta’ala untuk dikenakan kaum muslimah itu, dianggap sebagai adat istiadat negeri Arab saja. Sehingga, jilbab dianggap tidak wajib bagi muslimah non Arab, termasuk muslimah Indonesia. Memakai jilbab ‘divonis’ hanya merupakan keharusan budaya, bukan keharusan agama. Maka, jilbab tidak dapat dipaksakan untuk diterapakan di Indonesia, karena jilbab yang dianggap sebagai produk budaya Arab itu hanya wajib untuk kaum wanita Arab saja.

Begitulah, dalam bahasa yang sederhana, gagasan yang disuarakan oleh para penentang syariat Allah. Jika kita mengklik situs www.islamlib.com di internet, situsnya orang-orang JIL (Jaringan Islam Liberal), kita akan disuguhi banyak ‘artikel menantang’ yang acapkali mendobrak tatanan syariat yang baku. Soal jilbab, kita akan menemukan tulisan-tulisan yang membuat panas jiwa. Dalam situs tersebut, Novriantoni menulis kasus jilbab padang dan ‘Fasisme kaum moralis’, Sudarto menulis Masyarakat Terkelabuhi olehFormalisasi Jilbab, Nong Darol Mahmada meluncurkan tulisan Kritik Atas Jilbab, Sri Rahayu Arman menulis Jilbab : Antara kesucian dan resistensi. Ada pula artikel Saiful Amien Sholihin yang berjudul Menyorot Aurat dan Jilbab; Andree Feillar, Di Indonesia, Tidak Pakai Jilbab Pun Ama; Nong Darol Mahmada, Hijabisasi Perempuan ddalam Ruang Publik; Musdah Mulia, Saya Keberatan Kalau Jilbab Dipaksakan. Tulisan-tulisan itu memiliki sasaran tembak yang sama, yakni mendekonstruksi syariat jilbab, mengaburkan hukum wajib jilbab yang telah ditetapkan oleh agama. Sehingga, muslimah Indonesia tak wajib memakai jilbab. Na’udzubillah!

Roni Subayu, seorang aktivis liberal, menulis di www.islib.com. “Dalam konteks Al-Quran sebagai mitos, saya berpendapat bahwa makna denotatif Al-Quran (baca : ayat muamalah) adalah bersifat lokal-temporal yang Cuma diperuntukkan bagi masyarakat di mana Al-Quran turun. Sedang unsur yang universal dan televan untuk semua tempat dan zaman ada pada makna konotatifnya. Sebagai misal, perintah jilbab dalam Al-Quran sebagaimana diisyaratkan oleh makna denotatifnya, tidaklah berarti bahwa seluruh umat Islam wajib memakai jilbab, tapi makna konotatif dari perintah tersebut adalah : Pertama, pemakaian busana untuk menutup aurat ditentukan oleh standar ‘kepantasan’ budaya masing-masing layaknya jilbab yang menjadi standar kepantasan masyarakat Arab waktu itu. Ini makna konotatif yang mungkin kita temukan pada lapisan pertama. Kedua, keharusan umat Islam ‘menghormati tradisinya’ masing-masing, sebagai masyarakat Arab memandang jilbab sebagai tradisi. Dan ini makna yang bersemayam pada lapisan berikutnya. Krdua makna konotatif inilah untuk sementara waktu yang mempresentasikan universalitas ayat jilbab. Tentu, masih diandaikan adanya tumpukan makna yang terendap dan harus terus digali dalam ayat jilbab ini.”

Tafsir Menyesatkan

Salah satu tokoh yang menolak diwajibkannya jilbab bagi seluruh kaum muslimah adalah Muhammad Sa’id Al-Asymawi, seorang tokoh liberal-pluralis asal Mesiar. Slah satu bukunya telah diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) dan The Asia Foundation, April 2003, dengan judul Kritik Atas Jilbab. Pandangan yang mengatakan bahwa jilbab itu tidak wajib bisa dibaca dalam buku ini. Bahkan Al-Asymawi dengan lantang berkata bahwa hadits-hadits yang menjadi rujukan tentang perwajiban jilbab atau hijab itu adalah hadits ahad, yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Buku ini, secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.(www.islib.com)

Menurut AL-Asymawi, illat hukum pada ayat tersebut (Al-Ahzab 59), atau tujuan dari penguluran jilbab adalah agar wanita-wanita merdeka dapat dikenal dan dibedakan dengan wanita-wanita yang berstatus hamba sahaya dan wanita-wanita yang tidak terhormat, supaya tidak terjadi kerancuan di antara mereka. Illat hukum pada ayat di atas, yaitu membedakan antara orang-orang merdeka dan hamba sahaya kini telah tiada, karena masa kini sudah tidak ada lagi hamba sahaya. Dengan demikian, tidak ada lagi keharusan membedakan antara yang merdeka dengan yang berstatus budak, maka ketetapan hukum yang dimaksud menjadi batal dan tidak wajib ditetapkan berdasar syariat agama.

Tafsir nyeleneh Al-Asymawi ini banyak dikutip oleh Prof.Dr.Quraish Shihab di dalam buku-bukunya, antara lain Wawasan AL-Quran, Tafsir Al-Mishbah, dan Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Quraish Shihab termasuk tokoh yang berpendapat tidak wajibnya jilbab bagi muslimah Indonesia, karena jilbab adalah adat istiadat negeri Arab. Sehingga, sudah menjadi rahasia umum, jika salah satu putrinya, Najwa Shihab, sering tampil di depan publik tanpa memakai kerudung. Sungguh, kita menyayangkan, mengapa profesor pakar tafsir itu mendukung tafsir menyimpang Al-Asymawi!!

Allahu Akbar!! Biarkan ‘mereka’ terus berkicau menyuarakan kesesatan, dan tetap teguhlah, wahai para muslimah! Selalu balutlah tubuh anda dengan jilbab syar’i, di setiap waktu. Semoga Allah senantiasa memberikan keistiqamahan kepada anda. Wallahuk musta’an. (Abu Ilyas Mu’afa)

Dikutip dari : Majalah Ar-Risalah

2 komentar:

  1. manusia2 jil memang temannya iblis laknatulloh....Wahai manusia penantang syariat Alloh Azza Wa Jalla rasakan olehmu proses sakaratul maut,azab kubur dan siksa neraka jk mmg kalian ingin merasakannya...bertobatlah sebelum terlambat...!!!!

    BalasHapus
  2. Dilema memang bagi muslimah awam seperti saya. Terus terang saya prihatin dengan pertentangan2 yang ada seperti ini. Kenapa tokoh2 dari kedua belah pihak tidak bertemu saja kemudian mencari titik temu dengan dasar hukum yang kuat, mengkaji bersama untuk kebaikan umat Islam.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...